Rabu, 29 Oktober 2008

KUNCI SURGA

Sobat rohimakumullah
Ketika ajal hampir menjemput Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW yang senantiasa melindungi beliau dari ancaman kaum kafir quraisy. Saat itu Nabi Muhammadpun bersimpuh disisinya seraya bersabda “Wahai paman, ucapkanlah La Ilaha Illallah, satu kalimat yang dapat engkau jadikan hujjah disisi Allah”.
Namun ketika mendengar ucapan Rasulullah, Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayah yang berada disisi Abu Thalib segera menyela, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak menyukai agama Abdul Muththolib?”.

Selanjutnya mereka berdua tak pernah berhenti mengucapkan kata-kata itu hingga akhirnya Abu Thalibpun meninggal dalam keadaan kafir sesuai hasutan mereka berdua. Rosulullahpun bersedih, air matanya tumpah. Karena beliau tahu pasti bahwa paman yang paling dicintainya kelak di akhirat akan dimasukkan ke dalam neraka. Doa-doapun dipanjatkan ke hadiratNya, agar paman tercinta diampuni dosa-dosanya. Namun Allah SWT tidak berkenan mengabulkannya, karena Abu Tholib meninggal dalam keadaan kafir, belum pernah berikrar syahadat SEKALIPUN!. Maka Rasulpun hanya bisa mohon keringanan hukuman untuk pamannya sebagaimana sabda Beliau “ Semoga syafaatku bermanfaat baginya pada hari kiamat nanti, sehingga dia diletakkan dineraka yang dangkal, hanya sebatas tumit saja”.
Sobat!
Seandainya Abu Thalib mau mengucapkan kalimat syahadat La Ilaha Illallah. Mungkin akan lain jadinya. Karena kalimah la ilah illallah merupakan kunci surga. syahadat adalah bekal yang harus kita bawa agar kita dapat membuka pintu-pintu surga.
Namun yang jadi pertanyaan, cukupkah kita hanya berucap la ilaha illallah?
Terkait dengan ini suatu ketika ada orang bertanya kepada Wahb bin Munabih “ Bukankah la ilaha illallah adalah kunci surga?
Beliau menjawab,” Benar, namun tidak ada satu kuncipun kecuali mempunyai gigi. Jika kamu menggunakan kunci yang bergigi, pintu akan terbuka, jika tidak maka tidak akan terbuka”
Sobat!
Yang dimaksud gigi tersebut adalah syarat-syarat yang harus kita penuhi agar syahadat kita, agar persaksian kita diterima Allah SWT dan bisa kita gunakan sebagai kunci untuk membuka pintu surga. Adapun syarat-syarat tersebut adalah :

1. Mengetahui makna yang dimaksudkan.
Syarat yang pertama kita harus tahu, faham akan makna kalimat syahadat yang kita ucapkan bahwa tiada Tuhan Selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan Allah. Bukankah Rasul pernah bersabda, “ Barangsiapa mati dan dia mengetahui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, ia masuk surga”. (HR.Muslim)

2. Yakin dan tidak ragu-ragu.
Barangsiapa yang berikrar syahadatain, faham maknanya dan dengan penuh keyakinan tanpa keraguan sedikitpun, maka baginya surga. Sebagaimana sabda Rasul SAW, “aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Aku adalah utusan Allah. Tidak ada seorang hamba yang bertemu Allah dengan kedua kalimat ini dan tidak ragu-ragu tentang keduanya, kecuali masuk surga”.

3. Menerima konsekuensi dari kedua kalimat tersebut.
Karena syahadat hakekatnya adalah merupakan pernyataan, ikrar, sumpah, janji dan monoloyalitas terhadap Allah dan Nabi Muhammad SAW, maka didalam hidup, kita harus patuh, tunduk dengan aturan-aturan Allah SWT.

4. Jujur, tidak dusta
Apa yang diucapkan harus benar-benar keluar dari hatinya. Jangan sampai kita mengikrarkan syahadat sementara didalam hati kita menyelisihinya. Itu munafik namanya, dan Allah SWT Maha Tahu terhadap apa yang tersembunyi di dalam relung-relung hati kita. maka barangsiapa berdusta, maka sesungguhnya dia telah mendustai dirinya sendiri.
.
5. Ikhlas
Ikhlas berasal dari kata Khalis yang artinya murni. Maka ikhlas berarti memurnikan segala amal perbuatan baik lesan maupun tindakan hanya semata-mata mengaharap ridho Allah SWT. Jadi bukan karena wanita yang dinikahinya, bukan karena harta, jabatan yang dinginkannya maupun karena si fulan dsb. Tapi semata-mata karena Allah SWT.


Sudahkah syahadat kita sesuai syarat-syarat tersebut diatas? Smoga Allah SWT senatiasa membimbing kita, agar kita termasuk orang-orang yang bersyahadat dengan benar. Amin! Wallahu a’lam.

Dheminto
http://gizinews.blogspot.com
http://untaianhikmah.blogspot.com


Selengkapnya...

Senin, 27 Oktober 2008

SIAPA SESUNGGUHNYA YANG MENANG?

Ketika mentari yang tinggal semburat, lenyap ditelan cakrawala. Mega memerahpun hadir terhampar indah bagai permadani istana turki. Berhiaskan bintang gemintang bertaburan laksana intan mutu manikam. Semuanya begitu indah mempesona. Seakan Jagat raya sedang bersuka, menyambut datangnya hari yang indah, hari yang baru, hari yang dinanti-nantikan oleh seluruh orang beriman di dunia.
Mereka telah menjalankan ibadah puasa secara khusuk selama 1 bulan penuh. Inilah hari kemenangan itu. Hari kemenangan setelah orang mukmin selama 1 bulan menaklukkan hawa nafsunya. Mereka bertakbir, bertahmid, memuji kebesaran Allah seraya berharap puasa yang telah ditunaikan diterima, dosa-dosa terampuni dan dihari kemenangan ini mereka benar-benar kembali pada fitrah yang suci. Mereka bersukacita mengumandangkan takbir, tahmid menggetarkan hati hingga fajar menyingsing.
Ketika mentari pagi mulai hangat membelai, mereka berduyun-duyun menuju masjid, menuju tanah lapang guna bersujut pada Illahi Robi. Khutbah id dibacakan sepenuh hati, menggugah dan menambah keimanan yang sedang tubmbuh subur dan bersemi. Setelah itu mereka bersalam-salaman, bersilaturohim. Saling memaafkan antara suami dengan istrinya, orangtua dengan anaknya, dengan tetangga-tetangganya, sanak saudara, teman sejawat, dengan semuanya. Semuanya! Tidak peduli kaya miskin, pejabat maupun rakyat, besar maupun kecil, tua muda, semuanya berlapang dada untuk meminta maaf dan memaafkan. Sungguh hari yang sangat indah.
Namun entah! Mengapa ada yang hilang hari ini? Mengapa tak kudengar lagi adzan dhuhur berkumandang? Ketika malam menjemput, tak kulihat lagi jamaah yang melimpah ruah seperti kemarin sehingga masjid agung yang luas ini tak mampu menopang mereka yang begitu banyak. Mengapa tak kulihat lagi para jamaah yang dengan ghirahnya membaca Alqur’an seakan mereka berloma-lomba mengkhatamkan Al Qur’an. Mengapa tak kulihat lagi orang-orang yang berlomba-lomba infak, sedekah, memberi makan pada si fakir miskin. Mengapa tak kulihat lagi mimbar yang selalu terisi para da’I yang yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Kemanakah mereka semua? Sakitkah? Mengapa masjid ini kembali sepi? Jamaah sholat maghrib, ‘isak tinggal sebaris lagi. Jamaah subuh tinggal segelintir lagi. Bahkan sholat jum’atpun khotibnya tak nampak lagi. Kemanakah mereka? Sakitkah? Atau mudikkah?
Kini hampir satu bulan hari itu berganti. Tapi mengapa masjid ini masih sepi bahkan semakin sepi? Kemanakah mereka yang ketika romadhan memenuhi masjid ini dengan lurus dan rapatnya shof sholat jamaah? Kemanakah mereka yang ketika ramadhan menegakkan sholat wajib maupun qiyamul lail? Kemanakah mereka yang ketika romadhan meramaikan masjid dengan gemuruh bacaan al Qur’an yang menggetarkan dada setiap mukmin. Kemanakah mereka? Sakitkah? Sakit apa sampai satu bulan belum sembuh? Ataukah mereka pulang kampung dan tak kembali lagi? Atau justru mereka telah berpulang?
Ditengah ketidak mengertianku, kubuka kembali catatan-catatan usangku. Akhirnya aku terpaku pada salah satu hadist riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rasullah SAW pernah bersabda “Apabila bulan Ramadhan datang maka dibukakanlah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta dibelenggulah setan-setan”.
Apakah Ini biangnya? Inikah penyebab semua itu? Karena Ramadhan telah berlalu maka pintu-pintu neraka yang dulu ditutup kini telah terbuka kembali? Ataukah karena setan-setan yang dulu terbelenggu kini telah dilepaskan kembali? Sehingga mereka kembali tergoda dan tergelincir pada nafsu-nafsu yang keji? Lantas apa yang mereka dapatkan selama berlapar-lapar 1 bulan ketika itu?
Aku masih terduduk diatas kebingunganku, tiba-tiba suara penuh wibawa menegurku. “Wahai Jin penunggu masjid! Mengapa engkau selalu merisaukan itu? Bukankah setiap tahun sudah seperti itu? Itulah manusia!”, kata malaikat yang sejak tadi mengamatiku. Aku hanya bisa mengangguk kelu.
Tapi aku tetap tidak mengerti “ Mengapa masjidku ini ramai hanya pada saat itu? Lantas apakah arti hari kemenangan itu? Siapakah sebenarnya yang menang ketika itu? Manusiakah? Atau justru iblis dan setan yang ketika itu terbelenggu?”.
*******

Dheminto.
http://untaianhikmah.blogspot.com
http://gizinews.blogspot.com


Selengkapnya...

Sabtu, 25 Oktober 2008

MENGAPA ALLAH MENYURUH KITA BERDOA?

Sobat rohimakumullah!
Suatu ketika dalam sebuah majelis ilmu ada seorang santri bertanya pada Pak kyai,
“Pak Kyai, mengapa Allah menyuruh kita berdoa? Apakah karena Allah tidak tahu kebutuhan kita? Kalau Allah itu tahu kebutuhan kita (hambaNya), harusnya tanpa kita memintapun, Allah akan memberi kan Pak Kyai? Karena Allah itu Maha Memberi. Jadi untuk apa kita berdoa Pak Kyai?”

Mendengar pertanyaan itu seketika seisi ruangan masjid agung yang besar itu terkesiap. Semua diam dan hening. Sungguh pertanyaan yang sangat berani. Tapi saya pikir masuk akal juga. Setelah diam sejenak Pak Kyai yang arif dan bijaksana itu, dengan tersenyum penuh kelembutan memberikan jawaban yang sangat gamblang.
“Anakku, Allah menyuruh kita berdoa, itu bukan berarti Allah tidak tahu kebutuhan kita. Allah itu Maha Tahu. Bahkan Allah jauh lebih tahu kebutuhan kita dibanding kita sendiri. Coba pikir! Apa pernah kamu berdoa, “Ya Allah berikanlah aku udara”. Tidak pernah kan? Tapi Allah memberikan, karena Allah tahu kita butuh udara. Begitu juga dengan kebutuhan kita yang lain. Sebenarnya teramat banyak yang tidak kita minta tapi Allah memberikan. Karena apa? Karena Allah tahu bahwa kita butuh. Ini yang pertama.
Yang kedua, Allah menyuruh kita berdoa bukan berarti Allah butuh doa kita, tidak. Sama sekali tidak. Seandainya semua manusia bahkan termasuk semua jin menolak berdoa kepadaNya, kemuliaanNya tidak akan berkurang sedikitpun. Demikian juga sebaliknya. Seandainya semua manusia dan jin berdoa kepadaNya tidak akan menambah kemuliaanNya sedikitpun.
Lalu yang jkadi pertanyaan : “mengapa Allah menyuruh kita berdoa?”
Allah menyuruh kita berdoa karena :
1. Untuk senantiasa mengingatkan bahkan kita ini hanyalah seorang hamba. Dengan senantiasa mengingat bahwa kita ini hanyalah hamba, maka kita akan terhindar dari sikap sombong, takabur dan tinggi hati.
2. Doa itu adalah dzikir.
Dengan berdoa berarti telah mengingat Allah Tuhan Pencipta kita. Dengan mengingat Allah maka hati kita akan tenang. Hiduppun juga akan tenteram. Sebagaimana firman Allah dalam QS Ar Ra’d ayat 12 :’ yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah. Jadi, hanya dengan senantiasa mengingat ”Allah”lah hati kita maupun hidup kita akan tenang. Hal ini kita butuhkan to?
3. Doa itu adalah tujuan, keinginan atau target yang ingin kita capai. Ketika kita berdoa “Ya Allah, limpahkanlah kepadaku rezeki yang melimpah”. Maka rezeki yang melimpah adalah target kita. Tentunya target tidak akan pernah tercapai bila tidak disertai usaha yang optimal.
Ibarat orang bercocok tanam, usaha itu adalah benihnya. Sedangkan doa adalah pupuknya. Jadi doa yang tidak disertai usaha sama saja seperti menebarkan pupuk tapi tak pernah menaburkan benih. Ya….kapan akan panen?
4. Doa itu penyemangat, pemberi harapan. Jadi orang yang berdoa adalah orang yang masih punya harapan. Dengan adanya harapan hidup akan lebih bersemangat, lebih bergairah.
5. Yang paling penting, doa itu adalah intinya ibadah. Sebagai hamba Allah tugas utama kita adalah beribadah kepadaNya. Barangsiapa yang baik ibadahnya akan senantiasa mendapatkan ridhoNya. Siapapun yang mendapatkan ridhoNya akan bahagia hidupnya baik didunia yang fana ini maupun nanti diakhirat yang kekal. Siapa yang tidak ingin bahagia hidupnya, hayo…siapa?

Jadi hakekatnya kitalah yang butuh berdoa, bukan Allah bukan siapapun. Oleh karena itu selama masih ada waktu marilah kita perbanyak doa, smoga Allah meridhoi kita . Amin.
Wallahu a’lam.

Dheminto.
http://untaianhikmah.blogspot.com
http://gizinews.blogspot.com


Selengkapnya...

Kamis, 23 Oktober 2008

KEMANA KUCARI KURNIAMU (cerpen)

Bintang gemintang tertimpa awan kelam. Membuat malam kian renta dan muram. Burung hantupun merintih, mengabarkan duka Sobirin yang dihujam gundah merobek jiwa. Gundah harus meninggalkan gubug reotnya, bila tak mampu bayar kontrakan. Gundah bagaimana dia harus berlebaran. Lebih gundah bila anak dan istrinya harus tidur berselimutkan kelaparan. Sementara angin malam yang mendesah membawa aroma busuk sisa pesta buka puasa pejabat tadi sore, menambah suasana kian mengiris-iris hati. Di beranda reot itu, Pak sobirin masih duduk diam dan membatu. Disandarkannya wajah penuh guratan duka pada bantalan keras kursi kayu. Tangan kanan memijit-mijit dahi. Beberapa kali ditariknya napas panjang, tuk sekedar mengibas segala resah. Pikirannya kembali melayang. Mengapa sudah sebulan ini dia keliling tak juga didapatkan jatah rejekinya? Dengan bermodalkan peralatan tukang seadanya, Sobirin keliling menawarkan jasa pembuatan taman. Entah sudah berapa perumahan disinggahi. Tapi tak satupun order diterimanya. Tak sepeserpun rupiah didapatinya. Sementara kebutuhan bertumpuk tumpang tindih bagai benang kusut, yang dia tak tahu bagaimana mengurainya. Kepalanya makin berdenyut. Mata nanar. Berkali-kali dinariknya napas panjang. Tak terasa butiran beningpun menetes dipipinya.

“Pak.............”, sapa Bu Sobirin memecah keheningan. Pak sobirin terperanjat. Dengan cepat dihapus air mata di kedua pipinya, serta membuang jauh kegelisahan pada kegelapan malam.
“Ada apa bu...?” jawab Pak Sobirin ditenang-tenangkannya.
“Beras kita sudah habis! Bagaimana?” kata bu sobirin memelas.
Diraihnya dompet dicelana. Dibuka. Yang ada hanya seribu perak.
Dengan bergetar Pak sobirin mengulurkan lembaran lusuh itu ke pangkuan Sumirah, istrinya, “Ini bu....tinggal seribu..!”.
Sumirah menerimanya dengan gemetar menahan amarah. Kegetiran terpancar jelas diwajah yang memerah. Mendungpun mengembang, dan Airmata tumpah ruah di kedua pipinya. Sumpah serapahpun berhamburan tak terbendung.
“Uang segini untuk apa Pak.....!!? Ini cuman dapat garam ! Apa anak istrimu suruh makan garam tok..mikir to mikir. Otak itu untuk mikir.!!?”. Sumirah berang.
“Sabar to bu........!”, kata Pak Sobirin menghibur istrinya.
“Sabar..Sabar! Kurang sabar apa aku pak !! Sudah saya bela-belain buruh kesana- kemari buat nyari makan. E..... bapak malah males-malesan ! laki-laki apa itu pak??! Sudah tahu mau lebaran, ndak punya beras, Hanun ndak punya baju, kontrakan habis belum bayar, e... bapak malah santai-santai saja ! mikir dong pak, mikir!!!” teriak Sumirah dengan wajah merah padam.
Pak Sobirin terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Dia hanya bisa diam, tertunduk dan kelu.
“Bagaimana pak?? !!!!”,.
Pak Sobirin menarik napas panjang. Matanya dipejamkan. Berusaha tegar dan sabar. Ditahannya air mata agar tak berlinang. Kemudian dipegang tangan istrinya yang berdebu, tuk coba memberi harapan ! Satu harapan. Yang tak lebih hanya fatamorgana yang bisa hilang ditelan gulitanya malam.
“Bu...! Kita harus yakin akan karunia Allah. Insyaallah besok kita akan dapat yang kita butuhkan. Besok kita berusaha. Sekarang mari, kita berdoa. Kita sholat tahajud ya bu!”.
“Berdoa.-berdoa!!! Memang kenyang dengan berdoa !!? Sudah lelah aku berdoa pak! Tapi mana?! Mana!!? Kita tetap kere pak! Sekarang yang penting usaha! Usaha pak! Ndak malah nglamun begitu !!”, teriak bu sobirin sambil membanting pintu sekeras-kerasnya. Pak sobirin hanya bisa diam dan mengelus dada.
Tak lama diambilnya sajadah usang. Ditumpahkannya kegundahan dalam sujud tahajud yang panjang. Bagai ngarai tak terbendung, semua biang gelisah resah dipanjatkan kepada Sang penguasa malam. Dia tak ingin lepas dari sujud. Bahkan hingga sahur menjelang.
Jam telah berdentang 3 kali. Pak Sobirin, Sumirah dan Hanun putri tercinta telah duduk dihamparan tikar lusuh untuk santap sahur. Hanun memandang ke tengah. Dilihatnya hanya ada nasi putih. Tak ada yang lain. Padahal kemarin Hanun telah mengajukan permintaan
“ Bapak..! Hanun pingiiiin banget sahur pake ayam goreng. Sekaliiii saja !! Besok pak ya!!”
“Ya.. Insyaallah”, jawabnya ketika itu.
“Janji lo pak”.
“Ya ! Insyaallah”.
Tapi malam ini, yang tersaji hanya nasi putih dan kecap. Hanya itu.
“Mak...! Lauknya mana!!?” kata Hanun
“Tanya tuh Bapakmu??!”, jawab Sumirah sewot
Karena tak mampu menerima tatapan memelas Hanun dan wajah garang istrinya pak Sobirinpun bangkit dan luruh dalam sujud yang berurai air mata.
Airmatapun makin tak terbendung, ketika dia ingat permintaan hanun minggu yang lalu.
“Bapak !! bajuku sobek...!!” kata Hanun merajuk
“Pakai yang lain dulu to sayang...!” jawab pak sobirin.
“Yang mana bapak...................? kan yang lainnya sudah robek-robek semua”.
“Ya.. nanti dijahit dulu !!”.
“Masak sobek begini dijahit !”, kata Hanun sambil menunjukkan sobek bajunya yang tak mungkin dijahit.
“ Ya sudah nanti ditambal”.
“Masak ditambal!!??!.... Lagian...... masak mau lebaran pake’ baju tambalan !! Kan malu......beli dong pak !!!”.
“Hanun............bapak belum punya uang!”.
“Bapak pasti gitu !!....nggak mau mbelikan baju Hanun kan!!....bapak jahat! Bapak jahat!!”. Katanya cemberut sambil lari masuk ke kamar. Hanunpun menangis dan marah !!!. Hingga seharian dia mengurung diri di kamar. Sementara Pak Sobirin hanya bisa mendesah. Tak tahu harus berbuat apa. Kontrakan rumahpun terlambat 3 bulan belum terbayar. Si empu rumah telah memberi tenggat, bila sampai lebaran belum terbayar maka mereka harus keluar. Keluar kemana?
****
Matahari tak henti mamanggang bumi yang kering dan lapuk. Debu dan pasirnya terhempas-hempas oleh angin kemarau yang panas. Siangpun makin panas menyengat. Sebagian orang akan memilih berteduh dalam rumah yang dingin dan sejuk. Tapi tidak bagi Sobirin. Meski tengah berpuasa, Dia harus tetap melangkah menantang matahari. Berkeliling dari rumah ke rumah, untuk mencari kurnia Illahi..
Mentari sudah tergelincir. Ketika Sobirin melepas penat dibawah pohon beringin ujung perumahan. Disekanya keringat asin dari wajah dan leher. Dari subuh dia berkeliling, namun yang didapat hanya lelah, lapar dan dahaga yang mencekik, mendera setitik asa yang tinggal tersisa. Hati makin pilu, ketika kembali terngiang cercaan istrinya semalam. Ketika teringat kembali putrinya tercinta. Bagai anak panah, doa-doapun dilepas sampai ke atap-atap langit.
“Ya Allah.......... mengapa nasib tak jua berpihak padaku? Harus kemanakah kucari karuniaMu?!.”, ratapnya.
“Adakah kau dengar wahai Sang Penguasa Langit?”.
“ Kalau sampai aku tidak mendapatkan apa-apa, apa yang harus kukatakan pada istriku Ya Allah? Bagaimana anakku, tempat tinggalku! Haruskah aku berlebaran diemperan toko sebagai gelandangan?”.
Ditangkupkannya kedua tangan diwajah, menutupi kepedihan yang tak terbendung.
Tak terasa azan dzuhurpun telah memanggil. Memecah kebekuan dan kepiluan yang membelenggu. Diseretnya langkah ke masjid terdekat, memenuhi panggilan Illahi Robbi. Sholat dzuhur ditunaikan dengan sepenuh hati. Bagai seorang diplomat ulung, dia bermunajat ke HadiratNYa. Disampaikan segala biang keresahan. Tentang hidupnya. Tentang anak dan istrinya. Tentang tempat berteduhnya. Tentang kemiskinan yang selama ini mendera. “Adakah keadilan untukku ya Robbi !! Bukankan selama ini aku hanya menyembahMu? Bukankah selama ini aku hanya mohon pertolongan ke hadiratMu? Bukankan Engkau telah berjanji akan mengabulkan doa yang dipanjatkan kehadiratmu. Kami telah melakukan itu Ya Allah. Kami sudah berusaha. Manakah janjiMu?!! Harus kemana lagi kucari karuniaMu?”
Setelah luruh dalam sujut panjang dengan derai air mata. Bagai dapat suntikan darah segar, dia bangkit dan lari mengejar matahari yang masih tersisa. Dengan mantap dilangkahkan kaki ke luar. Namun baru sampai seberang masjid, langkahnya terhenti. Didepannya tergeletak dompet tebal berwarna coklat. Seolah tersenyum memanggil, untuk merengkuhnya. Pak sobirin menengok kanan kiri. Tak ada siapa-siapa. Siapakah pemilik dompet ini? Tak ada siapa-siapa. Inikah jawaban doaku?
Dengan pelan dibuka. Dilihatnya lembaran-lembaran merah sebanyak 6 lembar berjajar rapi didalam dompet. Seakan memanggil untuk memungutnya. Tapi dia ragu. “ Ini bukan milikku ! Bukan !!”. Ditutup dan diletakkan kembali dompet itu.
Sesaat dia duduk termangu. Dia ingat butuh beras. Ingat bayar kontrakan. Ingat beli baju hanun, istri dan juga dirinya. Dan perlu uang untuk berlebaran.
“Bukankah untuk menyambung hidup aku butuh uang?. Bukankah aku kesana kemari untuk mencari uang? Bukankah ini jawaban dari doa-doa yang kupanjatkan?” kata hatinya. Kembali direngkuhnya dompet itu.
“Ingat !.........itu bukan milikmu. Tidak halal bagimu!. Apakah kamu akan menafkahi keluargamu dengan rezeki yang tidak halal?” kata hatinya yang lain.
“Itu barang temuan, halal bagimu. Apalagi kamu bener-bener butuh to? Ingat hanun! Ingat istrimu!” kata hatinya yang satu.
Maka diambilnya uang itu. Namun ketika dilihat KTP didalamnya, kembali bimbang dan ragu menyelimuti hatinya.
“Nah...itu ada KTPnya, berarti ada yang punya kan. Kamu wajib mengembalikannya! Dosa tahu!!”.
“Tapi............”.
“Ndak ada tapi-tapian! itu bukan milikmu. Pokoknya kamu harus mengembalikan kepada yang punya. Ingat puasamu!”.
“Yah....benar! Memang aku harus mengembalikan uang ini. Harus!” katanya mantap.
Tak lama sampailah dia pada rumah minimalis dengan cat abu-abu berpadu warna putih. Dengan keraguan diketuknya pintu rumah itu, keluarlah seorang laki-laki tinggi besar dengan kumis tebal
“ Ada apa !” katanya garang.
“Maaf pak! Apa benar ini rumah Bapak Anton?”
“Saya Anton. Ada apa ?”
“Maaf pak, tadi saya menemukan dompet ini di dekat masjid. Ini dompet bapak ?’
“Oh... jadi kamu yang nyuri ya!!”, bentak anton.
“Tidak pak! Sungguh saya hanya menemukannya didekat masjid !!” dengan gemetar Pak Sobirin menyerahkan dompet tersebut.
“Hah !!..tinggal 600 ribu!! Yang lainnya mana !! Kamu ambil ya?!!”.
“Tidak Pak ! sungguh!! Demi Allah”.
“Anton !! kalau dia nyuri nggak mungkin dia nganter kesini!” kata seorang kakek dari balik pintu.
“Tapi uang saya tadi 2 jutaan kek!!”.
“Ah ..mosok? Kalau orang ngambil pasti diambil semua. Masak disisakan. 600 ribu lagi. Kamu ingat-ingat dulu deh. Jangan sembarangan nuduh orang !!!”.
“Tapi kek............”.
Pak sobirin bergegas meninggalkan Pak Anton yang masih termangu. Meski Pak anton memanggil-mangil, dia terus melangkahkan kakinya.
“Boro-boro terimakasih !! Ee... malah dituduh mencuri. Nasib-nasib!” gerutunya.
Pak Sobirin terus melangkahkan kakinya. Dia berharap ada orang yang memberikan pekerjaan. Hanya itu yang diinginkan. Rezeki dari kucuran keringatnya. Bukan dari mencuri, apalagi meminta-minta. Na’udzubillahi min dzalika.
Hingga senja merah tinggal semburat di cakrawala. Sobirin tak jua menemukan rezekinya. Sementara angin gunung telah bertiup pelan mengantar burung-burung pulang. Mereka pulang dengan perut kenyang dan sedikit biji untuk anaknya disarang. Alangkah bahagianya mereka !!! Sementara Pak Sobirin hanya bisa mengelus dada. Sudah seharian dia berkeliling. Haruskan pulang dengan tangan hampa? Harus kemana lagi kucari karuniaMu?
“Mengapa burung saja dapat menjemput rezekinya, pulang dengan perut kenyang dan buah tangan untuk anaknya. Sedangkan aku................?”, pak Sobirin terguguk meratapi nasibnya. Dibiarkanya airmata berlinang membasahi pipinya.
“Tapi....aku harus pulang...!”.
Malam menjelang Pak sobirin baru sampai dirumah. Dipandanginya sesaat rumah yang tak lebih dari gubug reot itu. Memang tak pantas disebut rumah. Itupun bukan miliknya. Hanya ada temaram sinar lampu minyak terpancar didalamnya. Tak Terdengar suara apa-apa, hanun maupun istrinya. Keraguan menggelayut di hati pak sobirin.
“Haruskah aku masuk dan berkata pada istri dan anakku , Maafkan bapak ! hari ini bapak tidak mendapatkan apa-apa?.. Padahal mereka menunggu pulangku untuk memenuhi janjiku. Sudah makankah mereka? Sudah berbukakah mereka? Bagaimana dengan kontrakan? Bagaimana baju robek Hanun? Bagaimana harus berlebaran besok?”. Kembali berbagai masalah tumpang tindih menagih janji. Tak tahu dengan apa harus dipenuhi. Akhirnya pak sobirin hanya bisa terduduk kelu didepan pintu. Hatinya semakin teriris-iris ketika suara takbir memanggil-manggil dari masjid-masjid dan surau.
“Allahu Akbar Allahu Akbar! Sungguh Engkau Maha Besar ! Mengapa Engkau biarkan kami yang kecil ini? Mana janjiMu?”,keluhnya pada sang Pencipta dengan berurai air mata.
“Bapak !! ........ Bapak sudah pulang to ?. Kok nggak manggil hanun?! Mak..................! Bapak sudah pulang!”, kata Hanun. Melihat putri tercinta Pak sobirin bingung apa yang yang harus dikatakan padanya. Dia tambah bingung ketika tiba-tiba Sumirah muncul didepan pintu.
“Alhamdulillah bapak sudah pulang? Bapak sudah buka puasa?” tanya Sumirah. Pak Sobirin menggeleng. Kemudian Sumirah menggandengnya ke Meja makan. Pak sobirin heran, mengapa istrinya begitu baik? Kok ada makanan? Bahkan ada ayam goreng kesukaan Hanun, ada sayur lodeh kesukaannya. Ada buah. Ada kolak, ini darimana?
“I....i..ni darimana ?” tanya Pak sobirin tak percaya. Lebih tak percaya lagi ketika dilihat ternyata anak dan istrinya telah memakai baju yang bagus-bagus. Baju barukah?
“Ba....Bajumu.. dari mana? Mimpikah aku?”
“Lho...kan dari bapak to. Bapak kan yang ngirim !”, jawab Sumirah lembut, tidak seperti biasanya.
“Aku yang ngirim......?”.
“Bukan bapak, tapi orang suruhan bapak”.
“Orang suruhanku?”, tanya Pak sobirin makin tak mengerti.
Untuk sesaat mereka hanya saling berpandangan. Tak mengerti apa sebenarnya yang terjadi. Tapi yang pasti bahwa Allah SWT tak pernah melupakan janjiNya. “Pasti!”. (dhemint)
http://untaianhikmah.blogspot.com
http://gizinews.blogspot.com
armint.rspaw@gmail.com
armint.rspaw@yahoo.co.id


Selengkapnya...

LEBARAN, SALAH MAKAN?

Sobat !
Satu bulan sudah kita berpuasa dibulan yang penuh barokah. Pada saat itu kita mampu menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Kita mampu mengendalikan panca indra. Kita mampu mengendalikan nafsu syahwat. Kita mampu mengendalikan nafsu perut kita. Tidak saja menghindari yang haram, yang halalpun tidak boleh berlebihan.
Namun bulan itu kini telah berlalu. Dan ironisnya,

latihan kita satu bulan dalam mengendalikan panca indra, mengendalikan nafsu syahwat, dan juga nafsu perut kita seakan hilang begitu saja. Kita lupa bahwa tidak boleh makan berlebihan. Kita lupa bahwa Rasulullah telah berpesan makanlah sesudah lapar dan berhentilah sebelum kamu kenyang. Kita lupa kalau diperintahkan makan tidak hanya yang halal tetapi harus yang tayyib (baik) untuk tubuh kita.
Namun tampaknya Idul fitri telah menjadi ajang pembebasan dari tuntunan tersebut.
Ibarat kendaraan, selama ramadhan kita banyak mengerem. Namun kini rem itu telah ”blong”. Seakan tak ada lagi pengendalian nafsu-nafsu kita terutama nafsu makan kita. Semua yang ada kita lahap habis, bahkan tak berhenti sebelum kekenyangan.

Sobat !
Ternyata fenomena ini bukan tanpa akibat. Coba anda tengok di beberapa rumah sakit, puskesmas, dokter praktek, klinik-klinik bahkan para mantri. Mereka kebanjiran pasien. Ada yang diare, muntah, bahkan ada yang tekanan darahnya naik. Setelah dicek laborat ternyata kolesterol, trigliserida, gula darah, asam urat naik semua. Ini karena apa? Karena salah makan ! Salah makan sobat. Makan yang berlebih-lebihan. Bukankan puasa romadhan mengajarkan kepada kita untuk tidak berlebihan dalam hal makan?
Oleh karena itu berhati-hatilah dalam hal makan aturlah dengan baik. Kalau perlu dietlah. Dan sebaik-baik diet adalah puasa!
Setuju ?????
Dhe Minto.
http://untaianhikmah.blogspot.com
http://gizinews.blogspot.com
armint.rspaw@gmail.com
armint.rspaw@yahoo.co.id

Selengkapnya...

Rabu, 22 Oktober 2008

JANGAN REMEHKAN DOSA KECIL

Sahabat yang dimuliakan Allah SWT
Baru 1 bulan kita meninggalkan bulan romadhon, bulan yang sangat mulia. Yang didalamnya kita mampu bermujahadah kepada Allah, mampu mengekang segala hawa nafsu. Kita mampu mengendalikan lidah, mata, pendengaran, tangan dan seluruh tubuh kita dari perbuatan yang dilarang Allah, yang dapat membatalkan dan merusak pahala puasa kita. Sehingga saat itu kita mampu menghindarkan diri dari perbuatan dosa demi dosa dan menggantinya dengan pahala demi pahala.
Namun baru 1 bulan berlalu, nampaknya kendali itu satu persatu mulai lepas. Dan kembali kita terjerumus dalam perbuatan dosa demi dosa. Tanpa kita sadari kita kembali meninggalkan kewajiban-kewajiban yang diperintah Allah kepada kita, dan justru kita kembali melanggar larangan-larangan.
Padahal dosa adalah noda-noda hitam yang dapat menutup hati kita sehingga tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Dosa meskipun kecil sekalipun adalah dinding yang menghijab, menghalangi seorang hamba dengan Allah SWT. Dosa juga akan melahirkan kehinaan dan kerendahan seorang hamba baik dihadapan Allah maupun dihadapan manusia lainnya. Dan sesungguhnya dosalah penyebab segala kehancuran di muka bumi ini.
Bukankaah Ibnul Qayyim telah berkata “ Satu hal yang perlu diketahui bahwa dosa-dosa dan perbuatan maksiat itu berbahaya. Bahayanya menghujam hati ibarat racun dalam tubuh. Tingkat bahayanya beraneka ragam, bahkan segala keburukan dan penyakit yang ada di dunia ini tidak lain hanyalah akibat dari perbuatan dosa dan maksiat”

Namun ironisnya kita sering menganggap remeh, kita sering melihat dosa bagaikan lalat yang lewat didepan hidung kita sehingga dengan mudah kita mengusirnya. Padahal seharusnya kita melihat dosa seakan-akan kita duduk dibawah gunung dengan penuh rasa takut, jangan-jangan gunung itu akan runtuh dan menimpa kita.
Sobat rohimakumullah.

Oleh karena itu marilah kita senantiasa berlindung kepada Allah SWT agar kita terhindar dari dosa-dosa besar seperti syirik, zina, membunuh dsb. Dan juga marilah kita senantiasa waspada jangan sampai terjerumus dalam kubangan dosa-dosa kecil. Karena, dosa kecil seringkali disertai kurangnya rasa malu, kurangnya perhatian dan rasa takut serta dianggap remeh oleh pelakunya, sehingga dosa kecil tanpa kita sadari berpotensi menjadi dosa-dosa besar.
Dalam satu riwayat pernah Rosulullah mengadakan perjalanan bersama para sahabat. Ketika sampai pada suatu padang pasir yang luas, beliau berhenti dan bermaksud bermalam di tempat tersebut. Kemudian beliau menyuruh para sahabat untuk mengumpulkan kayu bakar untuk bermalam.
Para sahabat menjawab " Ya Rosul, kita berada di tengah gurun pasir yang luas. tidak ada kayu bakar di sini ya rosul!".
Rosul menjawab,"kumpulkan apa saja, meskipun itu hanya ranting maupun daun kering".
Maka para sahabatpun mengumpulkan ranting maupun daun yang mereka temui. Dan diluar dugaan terkumpullah tumpukan besar daun dan ranting-ranting kering.
Maka Rosulpun bersabda, "Itulah gambaran dosa-dosa kecil".
Maka berhati-hatilah terhadap dosa kecil, karena tanpa kita sadari dapat menumpuk seperti layaknya dosa besar. Apakah penyebabnya?
Penyebabnya adalah :

1. Tanpa kita sadari dosa kecil sering kita lakukan secara terus menerus.
Ibnu Abbas mengatakan “ tak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus dan tak ada dosa besar jika diiring istigfar”
2. Seringkali kita meremehkan Dosa kecil.
Seringkali kita menganggap enteng dosa kecil padahal rosulullah pernah bersabda “berhati-hatilah kalian terhadap dosa kecil, sebab jika ia berkumpul dalam diri seseorang akan dapat membinasakannya: (HR ahmad dan Thabrani)
3. Tanpa kita sadari seringkali kita merasa senang dan bangga melakukannya.
Padahal senang dengan dosa lebih berbahaya dari dosa itu sendiri karena akan menimbulkan keinginan untuk terus melakukannya. Dan ini merupakan jenis lain dari dosa yang jauh lebih berbahaya daripada dosa yang dilakukan sebelumnya.
4. Seringkali kita terbuai dengan kemurahan Allah
Beranggapan karena Allah maha pemurah, pengampun dan penyayang maka Allah akan mengampuni dosanya dan selalu menyayanginya hingga dia merasa aman dengan dosa-dosanya tanpa melakukan perubahan.
5. Karena kurangnya rasa malu, seringkali kita tanpa sadar telah membongkar dan menceritakan dosa yang harusnya kita tutupi.
Rosul bersabda “ seluruh umatku akan dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan dalam dosa (al Mujahirun), termasuk terang-terangan dalam dosa adalah seorang hamba yang melakukan dosa dimalam hari lalu Allah menutupinya hingga pagi, namun ia berkata “ Wahai fulan aku tadi malam telah melakukan perbuatan begini dan begini”. (HR Muslim.
6. Jika pelakunya adalah orang alim yang jadi panutan atau dikenal keshalihannya.
Jika dilakukan sengaja meskipun tahu itu dosa, sehingga orang lain menganggap hal tersebut baik dan kemudian mengikutinya. Dia tidak hanya menanggung dosa atas perbuatannya tapi juga kesalahan orang-orang yang mengikutinya.


Marilah kita perbanyak istigfar, mohon ampun kepada Allah SWT. Wallahu a'lam.

Selengkapnya...