Ketika mentari yang tinggal semburat, lenyap ditelan cakrawala. Mega memerahpun hadir terhampar indah bagai permadani istana turki. Berhiaskan bintang gemintang bertaburan laksana intan mutu manikam. Semuanya begitu indah mempesona. Seakan Jagat raya sedang bersuka, menyambut datangnya hari yang indah, hari yang baru, hari yang dinanti-nantikan oleh seluruh orang beriman di dunia.
Mereka telah menjalankan ibadah puasa secara khusuk selama 1 bulan penuh. Inilah hari kemenangan itu. Hari kemenangan setelah orang mukmin selama 1 bulan menaklukkan hawa nafsunya. Mereka bertakbir, bertahmid, memuji kebesaran Allah seraya berharap puasa yang telah ditunaikan diterima, dosa-dosa terampuni dan dihari kemenangan ini mereka benar-benar kembali pada fitrah yang suci. Mereka bersukacita mengumandangkan takbir, tahmid menggetarkan hati hingga fajar menyingsing.
Ketika mentari pagi mulai hangat membelai, mereka berduyun-duyun menuju masjid, menuju tanah lapang guna bersujut pada Illahi Robi. Khutbah id dibacakan sepenuh hati, menggugah dan menambah keimanan yang sedang tubmbuh subur dan bersemi. Setelah itu mereka bersalam-salaman, bersilaturohim. Saling memaafkan antara suami dengan istrinya, orangtua dengan anaknya, dengan tetangga-tetangganya, sanak saudara, teman sejawat, dengan semuanya. Semuanya! Tidak peduli kaya miskin, pejabat maupun rakyat, besar maupun kecil, tua muda, semuanya berlapang dada untuk meminta maaf dan memaafkan. Sungguh hari yang sangat indah.
Namun entah! Mengapa ada yang hilang hari ini? Mengapa tak kudengar lagi adzan dhuhur berkumandang? Ketika malam menjemput, tak kulihat lagi jamaah yang melimpah ruah seperti kemarin sehingga masjid agung yang luas ini tak mampu menopang mereka yang begitu banyak. Mengapa tak kulihat lagi para jamaah yang dengan ghirahnya membaca Alqur’an seakan mereka berloma-lomba mengkhatamkan Al Qur’an. Mengapa tak kulihat lagi orang-orang yang berlomba-lomba infak, sedekah, memberi makan pada si fakir miskin. Mengapa tak kulihat lagi mimbar yang selalu terisi para da’I yang yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Kemanakah mereka semua? Sakitkah? Mengapa masjid ini kembali sepi? Jamaah sholat maghrib, ‘isak tinggal sebaris lagi. Jamaah subuh tinggal segelintir lagi. Bahkan sholat jum’atpun khotibnya tak nampak lagi. Kemanakah mereka? Sakitkah? Atau mudikkah?
Kini hampir satu bulan hari itu berganti. Tapi mengapa masjid ini masih sepi bahkan semakin sepi? Kemanakah mereka yang ketika romadhan memenuhi masjid ini dengan lurus dan rapatnya shof sholat jamaah? Kemanakah mereka yang ketika ramadhan menegakkan sholat wajib maupun qiyamul lail? Kemanakah mereka yang ketika romadhan meramaikan masjid dengan gemuruh bacaan al Qur’an yang menggetarkan dada setiap mukmin. Kemanakah mereka? Sakitkah? Sakit apa sampai satu bulan belum sembuh? Ataukah mereka pulang kampung dan tak kembali lagi? Atau justru mereka telah berpulang?
Ditengah ketidak mengertianku, kubuka kembali catatan-catatan usangku. Akhirnya aku terpaku pada salah satu hadist riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rasullah SAW pernah bersabda “Apabila bulan Ramadhan datang maka dibukakanlah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta dibelenggulah setan-setan”.
Apakah Ini biangnya? Inikah penyebab semua itu? Karena Ramadhan telah berlalu maka pintu-pintu neraka yang dulu ditutup kini telah terbuka kembali? Ataukah karena setan-setan yang dulu terbelenggu kini telah dilepaskan kembali? Sehingga mereka kembali tergoda dan tergelincir pada nafsu-nafsu yang keji? Lantas apa yang mereka dapatkan selama berlapar-lapar 1 bulan ketika itu?
Aku masih terduduk diatas kebingunganku, tiba-tiba suara penuh wibawa menegurku. “Wahai Jin penunggu masjid! Mengapa engkau selalu merisaukan itu? Bukankah setiap tahun sudah seperti itu? Itulah manusia!”, kata malaikat yang sejak tadi mengamatiku. Aku hanya bisa mengangguk kelu.
Tapi aku tetap tidak mengerti “ Mengapa masjidku ini ramai hanya pada saat itu? Lantas apakah arti hari kemenangan itu? Siapakah sebenarnya yang menang ketika itu? Manusiakah? Atau justru iblis dan setan yang ketika itu terbelenggu?”.
*******
Dheminto.
http://untaianhikmah.blogspot.com
http://gizinews.blogspot.com
Mereka telah menjalankan ibadah puasa secara khusuk selama 1 bulan penuh. Inilah hari kemenangan itu. Hari kemenangan setelah orang mukmin selama 1 bulan menaklukkan hawa nafsunya. Mereka bertakbir, bertahmid, memuji kebesaran Allah seraya berharap puasa yang telah ditunaikan diterima, dosa-dosa terampuni dan dihari kemenangan ini mereka benar-benar kembali pada fitrah yang suci. Mereka bersukacita mengumandangkan takbir, tahmid menggetarkan hati hingga fajar menyingsing.
Ketika mentari pagi mulai hangat membelai, mereka berduyun-duyun menuju masjid, menuju tanah lapang guna bersujut pada Illahi Robi. Khutbah id dibacakan sepenuh hati, menggugah dan menambah keimanan yang sedang tubmbuh subur dan bersemi. Setelah itu mereka bersalam-salaman, bersilaturohim. Saling memaafkan antara suami dengan istrinya, orangtua dengan anaknya, dengan tetangga-tetangganya, sanak saudara, teman sejawat, dengan semuanya. Semuanya! Tidak peduli kaya miskin, pejabat maupun rakyat, besar maupun kecil, tua muda, semuanya berlapang dada untuk meminta maaf dan memaafkan. Sungguh hari yang sangat indah.
Namun entah! Mengapa ada yang hilang hari ini? Mengapa tak kudengar lagi adzan dhuhur berkumandang? Ketika malam menjemput, tak kulihat lagi jamaah yang melimpah ruah seperti kemarin sehingga masjid agung yang luas ini tak mampu menopang mereka yang begitu banyak. Mengapa tak kulihat lagi para jamaah yang dengan ghirahnya membaca Alqur’an seakan mereka berloma-lomba mengkhatamkan Al Qur’an. Mengapa tak kulihat lagi orang-orang yang berlomba-lomba infak, sedekah, memberi makan pada si fakir miskin. Mengapa tak kulihat lagi mimbar yang selalu terisi para da’I yang yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Kemanakah mereka semua? Sakitkah? Mengapa masjid ini kembali sepi? Jamaah sholat maghrib, ‘isak tinggal sebaris lagi. Jamaah subuh tinggal segelintir lagi. Bahkan sholat jum’atpun khotibnya tak nampak lagi. Kemanakah mereka? Sakitkah? Atau mudikkah?
Kini hampir satu bulan hari itu berganti. Tapi mengapa masjid ini masih sepi bahkan semakin sepi? Kemanakah mereka yang ketika romadhan memenuhi masjid ini dengan lurus dan rapatnya shof sholat jamaah? Kemanakah mereka yang ketika ramadhan menegakkan sholat wajib maupun qiyamul lail? Kemanakah mereka yang ketika romadhan meramaikan masjid dengan gemuruh bacaan al Qur’an yang menggetarkan dada setiap mukmin. Kemanakah mereka? Sakitkah? Sakit apa sampai satu bulan belum sembuh? Ataukah mereka pulang kampung dan tak kembali lagi? Atau justru mereka telah berpulang?
Ditengah ketidak mengertianku, kubuka kembali catatan-catatan usangku. Akhirnya aku terpaku pada salah satu hadist riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rasullah SAW pernah bersabda “Apabila bulan Ramadhan datang maka dibukakanlah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta dibelenggulah setan-setan”.
Apakah Ini biangnya? Inikah penyebab semua itu? Karena Ramadhan telah berlalu maka pintu-pintu neraka yang dulu ditutup kini telah terbuka kembali? Ataukah karena setan-setan yang dulu terbelenggu kini telah dilepaskan kembali? Sehingga mereka kembali tergoda dan tergelincir pada nafsu-nafsu yang keji? Lantas apa yang mereka dapatkan selama berlapar-lapar 1 bulan ketika itu?
Aku masih terduduk diatas kebingunganku, tiba-tiba suara penuh wibawa menegurku. “Wahai Jin penunggu masjid! Mengapa engkau selalu merisaukan itu? Bukankah setiap tahun sudah seperti itu? Itulah manusia!”, kata malaikat yang sejak tadi mengamatiku. Aku hanya bisa mengangguk kelu.
Tapi aku tetap tidak mengerti “ Mengapa masjidku ini ramai hanya pada saat itu? Lantas apakah arti hari kemenangan itu? Siapakah sebenarnya yang menang ketika itu? Manusiakah? Atau justru iblis dan setan yang ketika itu terbelenggu?”.
*******
Dheminto.
http://untaianhikmah.blogspot.com
http://gizinews.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar