Bintang gemintang tertimpa awan kelam. Membuat malam kian renta dan muram. Burung hantupun merintih, mengabarkan duka Sobirin yang dihujam gundah merobek jiwa. Gundah harus meninggalkan gubug reotnya, bila tak mampu bayar kontrakan. Gundah bagaimana dia harus berlebaran. Lebih gundah bila anak dan istrinya harus tidur berselimutkan kelaparan. Sementara angin malam yang mendesah membawa aroma busuk sisa pesta buka puasa pejabat tadi sore, menambah suasana kian mengiris-iris hati. Di beranda reot itu, Pak sobirin masih duduk diam dan membatu. Disandarkannya wajah penuh guratan duka pada bantalan keras kursi kayu. Tangan kanan memijit-mijit dahi. Beberapa kali ditariknya napas panjang, tuk sekedar mengibas segala resah. Pikirannya kembali melayang. Mengapa sudah sebulan ini dia keliling tak juga didapatkan jatah rejekinya? Dengan bermodalkan peralatan tukang seadanya, Sobirin keliling menawarkan jasa pembuatan taman. Entah sudah berapa perumahan disinggahi. Tapi tak satupun order diterimanya. Tak sepeserpun rupiah didapatinya. Sementara kebutuhan bertumpuk tumpang tindih bagai benang kusut, yang dia tak tahu bagaimana mengurainya. Kepalanya makin berdenyut. Mata nanar. Berkali-kali dinariknya napas panjang. Tak terasa butiran beningpun menetes dipipinya.
“Pak.............”, sapa Bu Sobirin memecah keheningan. Pak sobirin terperanjat. Dengan cepat dihapus air mata di kedua pipinya, serta membuang jauh kegelisahan pada kegelapan malam.
“Ada apa bu...?” jawab Pak Sobirin ditenang-tenangkannya.
“Beras kita sudah habis! Bagaimana?” kata bu sobirin memelas.
Diraihnya dompet dicelana. Dibuka. Yang ada hanya seribu perak.
Dengan bergetar Pak sobirin mengulurkan lembaran lusuh itu ke pangkuan Sumirah, istrinya, “Ini bu....tinggal seribu..!”.
Sumirah menerimanya dengan gemetar menahan amarah. Kegetiran terpancar jelas diwajah yang memerah. Mendungpun mengembang, dan Airmata tumpah ruah di kedua pipinya. Sumpah serapahpun berhamburan tak terbendung.
“Uang segini untuk apa Pak.....!!? Ini cuman dapat garam ! Apa anak istrimu suruh makan garam tok..mikir to mikir. Otak itu untuk mikir.!!?”. Sumirah berang.
“Sabar to bu........!”, kata Pak Sobirin menghibur istrinya.
“Sabar..Sabar! Kurang sabar apa aku pak !! Sudah saya bela-belain buruh kesana- kemari buat nyari makan. E..... bapak malah males-malesan ! laki-laki apa itu pak??! Sudah tahu mau lebaran, ndak punya beras, Hanun ndak punya baju, kontrakan habis belum bayar, e... bapak malah santai-santai saja ! mikir dong pak, mikir!!!” teriak Sumirah dengan wajah merah padam.
Pak Sobirin terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Dia hanya bisa diam, tertunduk dan kelu.
“Bagaimana pak?? !!!!”,.
Pak Sobirin menarik napas panjang. Matanya dipejamkan. Berusaha tegar dan sabar. Ditahannya air mata agar tak berlinang. Kemudian dipegang tangan istrinya yang berdebu, tuk coba memberi harapan ! Satu harapan. Yang tak lebih hanya fatamorgana yang bisa hilang ditelan gulitanya malam.
“Bu...! Kita harus yakin akan karunia Allah. Insyaallah besok kita akan dapat yang kita butuhkan. Besok kita berusaha. Sekarang mari, kita berdoa. Kita sholat tahajud ya bu!”.
“Berdoa.-berdoa!!! Memang kenyang dengan berdoa !!? Sudah lelah aku berdoa pak! Tapi mana?! Mana!!? Kita tetap kere pak! Sekarang yang penting usaha! Usaha pak! Ndak malah nglamun begitu !!”, teriak bu sobirin sambil membanting pintu sekeras-kerasnya. Pak sobirin hanya bisa diam dan mengelus dada.
Tak lama diambilnya sajadah usang. Ditumpahkannya kegundahan dalam sujud tahajud yang panjang. Bagai ngarai tak terbendung, semua biang gelisah resah dipanjatkan kepada Sang penguasa malam. Dia tak ingin lepas dari sujud. Bahkan hingga sahur menjelang.
Jam telah berdentang 3 kali. Pak Sobirin, Sumirah dan Hanun putri tercinta telah duduk dihamparan tikar lusuh untuk santap sahur. Hanun memandang ke tengah. Dilihatnya hanya ada nasi putih. Tak ada yang lain. Padahal kemarin Hanun telah mengajukan permintaan
“ Bapak..! Hanun pingiiiin banget sahur pake ayam goreng. Sekaliiii saja !! Besok pak ya!!”
“Ya.. Insyaallah”, jawabnya ketika itu.
“Janji lo pak”.
“Ya ! Insyaallah”.
Tapi malam ini, yang tersaji hanya nasi putih dan kecap. Hanya itu.
“Mak...! Lauknya mana!!?” kata Hanun
“Tanya tuh Bapakmu??!”, jawab Sumirah sewot
Karena tak mampu menerima tatapan memelas Hanun dan wajah garang istrinya pak Sobirinpun bangkit dan luruh dalam sujud yang berurai air mata.
Airmatapun makin tak terbendung, ketika dia ingat permintaan hanun minggu yang lalu.
“Bapak !! bajuku sobek...!!” kata Hanun merajuk
“Pakai yang lain dulu to sayang...!” jawab pak sobirin.
“Yang mana bapak...................? kan yang lainnya sudah robek-robek semua”.
“Ya.. nanti dijahit dulu !!”.
“Masak sobek begini dijahit !”, kata Hanun sambil menunjukkan sobek bajunya yang tak mungkin dijahit.
“ Ya sudah nanti ditambal”.
“Masak ditambal!!??!.... Lagian...... masak mau lebaran pake’ baju tambalan !! Kan malu......beli dong pak !!!”.
“Hanun............bapak belum punya uang!”.
“Bapak pasti gitu !!....nggak mau mbelikan baju Hanun kan!!....bapak jahat! Bapak jahat!!”. Katanya cemberut sambil lari masuk ke kamar. Hanunpun menangis dan marah !!!. Hingga seharian dia mengurung diri di kamar. Sementara Pak Sobirin hanya bisa mendesah. Tak tahu harus berbuat apa. Kontrakan rumahpun terlambat 3 bulan belum terbayar. Si empu rumah telah memberi tenggat, bila sampai lebaran belum terbayar maka mereka harus keluar. Keluar kemana?
****
Matahari tak henti mamanggang bumi yang kering dan lapuk. Debu dan pasirnya terhempas-hempas oleh angin kemarau yang panas. Siangpun makin panas menyengat. Sebagian orang akan memilih berteduh dalam rumah yang dingin dan sejuk. Tapi tidak bagi Sobirin. Meski tengah berpuasa, Dia harus tetap melangkah menantang matahari. Berkeliling dari rumah ke rumah, untuk mencari kurnia Illahi..
Mentari sudah tergelincir. Ketika Sobirin melepas penat dibawah pohon beringin ujung perumahan. Disekanya keringat asin dari wajah dan leher. Dari subuh dia berkeliling, namun yang didapat hanya lelah, lapar dan dahaga yang mencekik, mendera setitik asa yang tinggal tersisa. Hati makin pilu, ketika kembali terngiang cercaan istrinya semalam. Ketika teringat kembali putrinya tercinta. Bagai anak panah, doa-doapun dilepas sampai ke atap-atap langit.
“Ya Allah.......... mengapa nasib tak jua berpihak padaku? Harus kemanakah kucari karuniaMu?!.”, ratapnya.
“Adakah kau dengar wahai Sang Penguasa Langit?”.
“ Kalau sampai aku tidak mendapatkan apa-apa, apa yang harus kukatakan pada istriku Ya Allah? Bagaimana anakku, tempat tinggalku! Haruskah aku berlebaran diemperan toko sebagai gelandangan?”.
Ditangkupkannya kedua tangan diwajah, menutupi kepedihan yang tak terbendung.
Tak terasa azan dzuhurpun telah memanggil. Memecah kebekuan dan kepiluan yang membelenggu. Diseretnya langkah ke masjid terdekat, memenuhi panggilan Illahi Robbi. Sholat dzuhur ditunaikan dengan sepenuh hati. Bagai seorang diplomat ulung, dia bermunajat ke HadiratNYa. Disampaikan segala biang keresahan. Tentang hidupnya. Tentang anak dan istrinya. Tentang tempat berteduhnya. Tentang kemiskinan yang selama ini mendera. “Adakah keadilan untukku ya Robbi !! Bukankan selama ini aku hanya menyembahMu? Bukankah selama ini aku hanya mohon pertolongan ke hadiratMu? Bukankan Engkau telah berjanji akan mengabulkan doa yang dipanjatkan kehadiratmu. Kami telah melakukan itu Ya Allah. Kami sudah berusaha. Manakah janjiMu?!! Harus kemana lagi kucari karuniaMu?”
Setelah luruh dalam sujut panjang dengan derai air mata. Bagai dapat suntikan darah segar, dia bangkit dan lari mengejar matahari yang masih tersisa. Dengan mantap dilangkahkan kaki ke luar. Namun baru sampai seberang masjid, langkahnya terhenti. Didepannya tergeletak dompet tebal berwarna coklat. Seolah tersenyum memanggil, untuk merengkuhnya. Pak sobirin menengok kanan kiri. Tak ada siapa-siapa. Siapakah pemilik dompet ini? Tak ada siapa-siapa. Inikah jawaban doaku?
Dengan pelan dibuka. Dilihatnya lembaran-lembaran merah sebanyak 6 lembar berjajar rapi didalam dompet. Seakan memanggil untuk memungutnya. Tapi dia ragu. “ Ini bukan milikku ! Bukan !!”. Ditutup dan diletakkan kembali dompet itu.
Sesaat dia duduk termangu. Dia ingat butuh beras. Ingat bayar kontrakan. Ingat beli baju hanun, istri dan juga dirinya. Dan perlu uang untuk berlebaran.
“Bukankah untuk menyambung hidup aku butuh uang?. Bukankah aku kesana kemari untuk mencari uang? Bukankah ini jawaban dari doa-doa yang kupanjatkan?” kata hatinya. Kembali direngkuhnya dompet itu.
“Ingat !.........itu bukan milikmu. Tidak halal bagimu!. Apakah kamu akan menafkahi keluargamu dengan rezeki yang tidak halal?” kata hatinya yang lain.
“Itu barang temuan, halal bagimu. Apalagi kamu bener-bener butuh to? Ingat hanun! Ingat istrimu!” kata hatinya yang satu.
Maka diambilnya uang itu. Namun ketika dilihat KTP didalamnya, kembali bimbang dan ragu menyelimuti hatinya.
“Nah...itu ada KTPnya, berarti ada yang punya kan. Kamu wajib mengembalikannya! Dosa tahu!!”.
“Tapi............”.
“Ndak ada tapi-tapian! itu bukan milikmu. Pokoknya kamu harus mengembalikan kepada yang punya. Ingat puasamu!”.
“Yah....benar! Memang aku harus mengembalikan uang ini. Harus!” katanya mantap.
Tak lama sampailah dia pada rumah minimalis dengan cat abu-abu berpadu warna putih. Dengan keraguan diketuknya pintu rumah itu, keluarlah seorang laki-laki tinggi besar dengan kumis tebal
“ Ada apa !” katanya garang.
“Maaf pak! Apa benar ini rumah Bapak Anton?”
“Saya Anton. Ada apa ?”
“Maaf pak, tadi saya menemukan dompet ini di dekat masjid. Ini dompet bapak ?’
“Oh... jadi kamu yang nyuri ya!!”, bentak anton.
“Tidak pak! Sungguh saya hanya menemukannya didekat masjid !!” dengan gemetar Pak Sobirin menyerahkan dompet tersebut.
“Hah !!..tinggal 600 ribu!! Yang lainnya mana !! Kamu ambil ya?!!”.
“Tidak Pak ! sungguh!! Demi Allah”.
“Anton !! kalau dia nyuri nggak mungkin dia nganter kesini!” kata seorang kakek dari balik pintu.
“Tapi uang saya tadi 2 jutaan kek!!”.
“Ah ..mosok? Kalau orang ngambil pasti diambil semua. Masak disisakan. 600 ribu lagi. Kamu ingat-ingat dulu deh. Jangan sembarangan nuduh orang !!!”.
“Tapi kek............”.
Pak sobirin bergegas meninggalkan Pak Anton yang masih termangu. Meski Pak anton memanggil-mangil, dia terus melangkahkan kakinya.
“Boro-boro terimakasih !! Ee... malah dituduh mencuri. Nasib-nasib!” gerutunya.
Pak Sobirin terus melangkahkan kakinya. Dia berharap ada orang yang memberikan pekerjaan. Hanya itu yang diinginkan. Rezeki dari kucuran keringatnya. Bukan dari mencuri, apalagi meminta-minta. Na’udzubillahi min dzalika.
Hingga senja merah tinggal semburat di cakrawala. Sobirin tak jua menemukan rezekinya. Sementara angin gunung telah bertiup pelan mengantar burung-burung pulang. Mereka pulang dengan perut kenyang dan sedikit biji untuk anaknya disarang. Alangkah bahagianya mereka !!! Sementara Pak Sobirin hanya bisa mengelus dada. Sudah seharian dia berkeliling. Haruskan pulang dengan tangan hampa? Harus kemana lagi kucari karuniaMu?
“Mengapa burung saja dapat menjemput rezekinya, pulang dengan perut kenyang dan buah tangan untuk anaknya. Sedangkan aku................?”, pak Sobirin terguguk meratapi nasibnya. Dibiarkanya airmata berlinang membasahi pipinya.
“Tapi....aku harus pulang...!”.
Malam menjelang Pak sobirin baru sampai dirumah. Dipandanginya sesaat rumah yang tak lebih dari gubug reot itu. Memang tak pantas disebut rumah. Itupun bukan miliknya. Hanya ada temaram sinar lampu minyak terpancar didalamnya. Tak Terdengar suara apa-apa, hanun maupun istrinya. Keraguan menggelayut di hati pak sobirin.
“Haruskah aku masuk dan berkata pada istri dan anakku , Maafkan bapak ! hari ini bapak tidak mendapatkan apa-apa?.. Padahal mereka menunggu pulangku untuk memenuhi janjiku. Sudah makankah mereka? Sudah berbukakah mereka? Bagaimana dengan kontrakan? Bagaimana baju robek Hanun? Bagaimana harus berlebaran besok?”. Kembali berbagai masalah tumpang tindih menagih janji. Tak tahu dengan apa harus dipenuhi. Akhirnya pak sobirin hanya bisa terduduk kelu didepan pintu. Hatinya semakin teriris-iris ketika suara takbir memanggil-manggil dari masjid-masjid dan surau.
“Allahu Akbar Allahu Akbar! Sungguh Engkau Maha Besar ! Mengapa Engkau biarkan kami yang kecil ini? Mana janjiMu?”,keluhnya pada sang Pencipta dengan berurai air mata.
“Bapak !! ........ Bapak sudah pulang to ?. Kok nggak manggil hanun?! Mak..................! Bapak sudah pulang!”, kata Hanun. Melihat putri tercinta Pak sobirin bingung apa yang yang harus dikatakan padanya. Dia tambah bingung ketika tiba-tiba Sumirah muncul didepan pintu.
“Alhamdulillah bapak sudah pulang? Bapak sudah buka puasa?” tanya Sumirah. Pak Sobirin menggeleng. Kemudian Sumirah menggandengnya ke Meja makan. Pak sobirin heran, mengapa istrinya begitu baik? Kok ada makanan? Bahkan ada ayam goreng kesukaan Hanun, ada sayur lodeh kesukaannya. Ada buah. Ada kolak, ini darimana?
“I....i..ni darimana ?” tanya Pak sobirin tak percaya. Lebih tak percaya lagi ketika dilihat ternyata anak dan istrinya telah memakai baju yang bagus-bagus. Baju barukah?
“Ba....Bajumu.. dari mana? Mimpikah aku?”
“Lho...kan dari bapak to. Bapak kan yang ngirim !”, jawab Sumirah lembut, tidak seperti biasanya.
“Aku yang ngirim......?”.
“Bukan bapak, tapi orang suruhan bapak”.
“Orang suruhanku?”, tanya Pak sobirin makin tak mengerti.
Untuk sesaat mereka hanya saling berpandangan. Tak mengerti apa sebenarnya yang terjadi. Tapi yang pasti bahwa Allah SWT tak pernah melupakan janjiNya. “Pasti!”. (dhemint)
http://untaianhikmah.blogspot.com
http://gizinews.blogspot.com
armint.rspaw@gmail.com
armint.rspaw@yahoo.co.id
Kamis, 23 Oktober 2008
KEMANA KUCARI KURNIAMU (cerpen)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar