Rembulan limau retak tertancap ranting-ranting cemara. Sinarnya pucat pasi ditelan gulita malam. Bintang gemintangpun enggan bersinar, sembunyi dibalik cakrawala. Angin malam mendesau membawa temaram menggetarkan daun-daun jatuh ke pangkuan bumi. Di kejauhan anjing hutan menjerit ke langit membawa kabar tentang kegelisahan malam.
Jam telah berdentang 12 kali. Namun Harnowo masih terduduk diteras terbungkus resah. Wajahnya ditekuk, tangan kiri meijit-mijit jidat. Sesekali dia menghela napas panjang, seolah menghempaskan beban yang menyesakkan dada. Entah apa yang berkecamuk di hatinya.
Dia adalah anak bungsu kebanggaanku. Dari 5 bersaudara, dialah yang paling berhasil dalam kariernya. Sekarang ini dia adalah seorang Direktur suatu rumah sakit pemerintah. Karena kesibukannya, dia sangat jarang menengokku. Belum tentu setahun sekali dia menenggok aku, ibunya yang tinggal sebatang kara ini. Seperti biasa, kali ini dia datang sendiri dengan wajah kusut masai. Tanpa ditemani anak-anaknya. Apalagi istrinya yang juga seorang dokter itu. “ Sibuk !” itulah jawaban klasik yang selalu jadi alasan.
Dia masih membatu ketika aku datang menghampirinya. Ku duduk disebelahnya, sambil menyisir gelap malam penyimpan sejuta misteri.
“Harnowo!.. ada apa?”tanyaku penuh kelembutan.
“Ndak ada apa-apa kok bu”, jawabnya datar. Matanya terus menyusuri pekatnya malam. Entah mencari jawaban, ataukah sembunyi dari pertanyaanku barusan.
“Jangan bohong sama ibu! Ibu tahu kamu ada masalah”.
”Ndak kok bu ! Cuman lelah saja”.
”Lelah apa?”.
”Ya....lelah mikir pekerjaan bu..”.
”Ah..mosok”.
”Maklum bu !.. sebagai Direktur semua masalah bertumpu padaku. Mulai dari membuat perencanaan, pengaturan anggaran, proyek ini-itu, laporan-laporan, belum kalau ada pemeriksaan dari Irjen atau BPK. Belum lagi kalau ada komplain pasien gara-gara dokternya perawatnya mogok. Bahkan sampe WC mampet, genting bocor saja harus aku yang mikir. Aku lelah bu....sangat lelah”.
”Lho.... Kamu kan punya anak buah !? Ada wakil direktur. Ada kepala bagian, kepala seksi, kepala Instalasi, kepala unit dan masih banyak lainnya. Kamu tinggal nyuruh-nyuruh mereka to !”.
”Iya sih bu. Tapi................aku tidak percaya sama mereka. Mereka itu nggak becus kerjanya. Yang dipikir hanya bagaimana dapat untung. Kalau nggak gitu, yang dipikir ya cuma insentif, insentif dan insentif”.
”Ah ...mosok begitu. Lha kamu sendiri bagaimana?”
Harnowo hanya diam. Tapi kerisauan, kegelisan tampak jelas bergelayut dimatanya yang memandang jauh di kegelapan. Seakan ingin bersembunyi di kelamnya malam. Sementara kabut tipis mulai turun. Dinginnya mulai menembus jaket tebal yang kukenakan. Ya..jaket pemberiannya. Saat dia masih jadi dokter Puskesmas. Saat dia belum menikah dengan dokter Dian. Saat dia belum sesukses sekarang. Saat dia masih memperhatikan ibunya. Tidak seperti sekarang!
”Lelah bu, aku sangat lelah !! sangat !!. Rasanya ingin berhenti saja. Istirahat dirumah. Tapi gimana ...dirumah juga nggak ada siapa-siapa. Istri pergi terus, anak-anak juga nggak tahu kemana”.kata Harnowo datar sambil sesekali menarik napas dalam-dalam.
”Lho..lha istrimu kemana? Juga anak-anakmu, Eko, Dwi, dan Tri? Harusnya mereka dirumah to?”
”Entahlah Bu..”
”Kamu ini bagaimana to le?! Kamu ini kan kepala keluarga, mosok nggak tahu mereka kemana”.
”aku sibuk bu..”.
”sibuk ! terus keluarga nggak diurus gitu? Dosa itu namanya !!”
”Aku sibuk bu. Sebagai direktur pekerjaanku terlalu banyak. Apalagi stafku ndak bisa dipercaya”.
” Ah ..mosok !! jangan-jangan kamu saja yang tidak bisa mimpin. Jadi direktur kok sembarang dipikir sendiri. Harusnya bagi-bagi tugas to!!”
Harnowo hanya diam. Sambil menarik napas panjang, kembali dia memijit-mijit kening dan batang lehernya.
”Ya sudah,gimana kalau hal ini ibu sampaikan pada Pak De’mu yang jadi Dirjen?”.
”Maksud ibu?”
” Ya,..biar kamu tidak usah jadi Direktur saja !!”.
Harnowo tersentak ! kaget !
”Ibu gimana sih. Ya jangan !!!”.
”Kok jangan ?”
”Ya jangan. Tidak bisa begitu bu!”.
” Kok tidak bisa bagaimana?. Kan tinggal kamu diganti, atau mengundurkan diri beres to?. Dengan begitu kamu bisa lebih santai, longgar, bisa menikmati hidup, bisa sering kumpul membina keluarga, bisa sering-sering nengok ibu. Coba mana?! Berapa tahun sekali kamu nengok ibu ?. Apalagi istrimu itu. Juga anak-anakmu. Jangan-jangan... mereka tidak tahu, kalau punya nenek disini”.
”Ya ndak gitu bu”, gerutunya sambil mengambil sebatang rokok, menyulut dan menghisapnya dalam-dalam.
”Dokter kok ngrokok !!! katanya ndak baik buat kesehatan?”.
”Ah ibu... bawel amat sih!” jawabnya kesal sambil mematikan lagi rokoknya. Sementara malam terus bergulir. Membagi-bagi mimpi bagi mereka yang sudah terlelap.
”Sekarang bagaimana?”, tanyaku lagi
”Bagaimana, apanya bu?”.
” Yang tadi ! bagaimana kalau ibu bilang sama pak de’mu? Biar kamu tidak usah jadi Direktur saja”.
”Tidak bisa begitu bu !”.
”Tidak bisa bagaimana?”, kataku mulai jengkel.
Harnowo tetap diam dan membisu. Kembali dia memijit-mijit jidatnya.
”Tidak bisa bagaimana? Ditanya orang tua ndak njawab !!!”, bentakku sambil menahan emosi. Harnowo memandangku sebentar, kemudian menghela napas panjang.
” Bu...jadi direktur, memang semua pekerjaan, permasalahan mengalir ke mejaku. Mulai proyek gedung ini-itu, renovasi bangsal sampai saluran limbah. Dari operasi jantung sampai operasi kutil. Dari pengadaan CT scan sampai pengadaan obat. Belum penerimaan pegawai, aku yang harus nangani bu. Memang lelah, melelahkan ! Tapi sebenarnya dari situlah rejeki saya bu! Dari rekanan proyek, CV ini-itu, alat kesehatan, leveransir makanan, obat, reagen, dari pegawai baru. Makanya aku bisa bayar cicilan beberapa apartemen, mobil mewah, beli barang-barang antik. !”, jawabnya.
”Lho...itu kan ilegal, gratifikasi, kolusi, korupsi ! kalau ada pemeriksaan bagaimana?”.
”Ah itu kecil bu ! paling-paling yang mriksa Irjen. BPKP, BPK. Atau KPK sekalian. Toh mereka manusia juga. Kasih amplop beres bu !”.
“ O…..begitu ya”, jawabku datar. Entah mengapa ada kegetiran merayap ke sekujur tubuh. Awanpun mengambang dipelupuk mataku. Inikah anakku? Yang seorang Direktur kebanggaanku itu?
Kukuatkan hati. Kulempar kegetiran digelapnya malam dibalik senyum hambar yang kupaksakan.
“ Terus, yang membuat kamu resah apa?” tanyaku lagi
“E..e.. anu bu..” katanya dengan bimbang.
“anu apa?”
“E…e…anu bu ! aku dipromosikan jadi direktur rumah sakit Kelas A di Sumatera”.
“ ya bagus kan?”.
“ Tapi aku bingung bu. Kalau aku terima, nanti bagaimana dengan keluargaku. Dian istriku pasti ndak mau ninggalkan prakteknya. Belum anak-anak, kuliahnya bagaimana? Kalau istri dan anak-anak saya tinggal bagaimana jadinya? Sekarang saja rasanya sudah hampa. Istri ndak pernah ketemu, sibuk dengan kerjanya sendiri. Anak-anak juga gitu.”.
“Kalu gitu Ya ndak usah ngongso ! Nggak jadi direktur juga tidak apa-apa kan? katanya sudah lelah! Lebih baik kamu cari tempat yang nyantai saja. Biar nggak lelah, longgar, bisa kumpul membina keluarga, ngurus anak-anak. Biar keluarga tidak seperti kapal pecah begitu. Terus nanti juga dapat sering-sering nengok ibu”..
“La itu masalahnya bu. Kalau aku nggak jadi direktur, mukaku ditaruh dimana ? Masak mantan direktur terus jadi staf biasa? Malu kan bu! Belum masalah pendapatan. Kalau nggak jadi direktur untuk bayar mobil, apartemen, uang belanja istri, , kuliah anak-anak, untuk ini- itu dan sebagainya dari mana coba?””.
“Harnowo…! Kamu ini bagaimana sih? Uang itu bukan segala-galanya. Pikir istrimu. pikir anak-anakmu. Pokoknya Ibu tidak mau lagi dengar kabar kalau istri dan anak-anakmu jadi orang yang nggak bener ! ini semua gara-gara kamu yang nggak becus ngurus keluarga. Sudah tolak saja tawaran itu!”
”Tapi di rumah sakit besar proyeknya jauh lebih besar bu, pendapatannya juga lebih besar. Pasti uangnya, insentifnya juga jauh lebih besar. Sayang kalau nggak diterima. Apalagi kesempatan ini nggak mungkin akan datang dua kali bu”
“Astaghfirullah al’adzim harnowo… harnowo! Kenapa sih yang kamu pikir uang, uang dan uang melulu!”
“ Sekarang uang itu sangat penting bu. Dengan punya uang kita bisa melakukan apa saja!”.
Astaghfirullah!!!. Aku hanya bisa diam. Tak tahu harus bicara apa. Sementara malam yang kian renta, menyembunyikan rembulan pucat dibalik awan. Membuat malam semakin muram. Semuram hatiku, yang tak tahu jalan pikiran Harnowo, anak kebanggaanku.
”Oahhh................... dah ngantuk bu saya tidur dulu”, kata Hernowo sambil berdiri meninggalkan diriku. Kulihat jelas kerisauan masih bergelayut dihatinya. Kerisauan yang juga membuatku sedih. Resah gelisahpun menghujam, membangkitkan kecemasan yang menjulang. Sampai pagi menjelang aku masih terduduk terbalut resah. Apa....yang akan terjadi?
Pagi buta harnowo pamit kembali ke kota. Kulepas dia dengan setumpuk doa, smoga tak terjadi apa-apa. Tapi hatiku berkata lain. Aku sedih. Semakin sedih dan sendiri. Tak terasa bendungan air dimataku tumpah ruah membasahi pipiku. Kepedihan menikam jauh kedasar jantung hati. Seperti itukah anakku? Mengapa uang telah menjadi berhala yang dipertuhankan? Mengapa harta membutakan mata hatinya? Kemana hilangnya jiwa kesederhanaan? kejujuran? Ampuni hambamu ini ya Allah. Yang tidak mampu menjaga amanah Mu !
********************
Senja merah semburat dibatas cakrawala. Burung-burung pipit terbang meliuk rendah kembali ke sarangnya. Pulang kembali pada induknya. Dengan saudara-saudaranya. Betapa bahagianya mereka ! Sementara aku disini mati dalam sepi. Hanya Iyem pembantuku yang setia menemaniku. Membuatkanku teh dan pisang goreng sebagai teman menikmati senja merah, sambil berharap ada anakku yang pulang sore ini. Termasuk Harnowo.
” Nyonya, monggo koran sorenya Nyonya”, kata Iyem membuyarkan lamunanku.
”Ya, terima kasih yem”.
Ketika kubuka betapa terkejutnya aku, kulihat headline ”Seorang Direktur RS A kota B dengan inisial dr H ditangkap KPK dengan tuduhan korupsi.......”
”Oh.. Harnowo anakku!”.
Seketika semua menjadi gelap. Aku terpelanting ke kiri. Dan tak sadarkan diri..............
Dheminto
Konsultasi gizi gratis. http://gizinews.blogspot.com
http://untaianhikmah.blogspot.com
Jam telah berdentang 12 kali. Namun Harnowo masih terduduk diteras terbungkus resah. Wajahnya ditekuk, tangan kiri meijit-mijit jidat. Sesekali dia menghela napas panjang, seolah menghempaskan beban yang menyesakkan dada. Entah apa yang berkecamuk di hatinya.
Dia adalah anak bungsu kebanggaanku. Dari 5 bersaudara, dialah yang paling berhasil dalam kariernya. Sekarang ini dia adalah seorang Direktur suatu rumah sakit pemerintah. Karena kesibukannya, dia sangat jarang menengokku. Belum tentu setahun sekali dia menenggok aku, ibunya yang tinggal sebatang kara ini. Seperti biasa, kali ini dia datang sendiri dengan wajah kusut masai. Tanpa ditemani anak-anaknya. Apalagi istrinya yang juga seorang dokter itu. “ Sibuk !” itulah jawaban klasik yang selalu jadi alasan.
Dia masih membatu ketika aku datang menghampirinya. Ku duduk disebelahnya, sambil menyisir gelap malam penyimpan sejuta misteri.
“Harnowo!.. ada apa?”tanyaku penuh kelembutan.
“Ndak ada apa-apa kok bu”, jawabnya datar. Matanya terus menyusuri pekatnya malam. Entah mencari jawaban, ataukah sembunyi dari pertanyaanku barusan.
“Jangan bohong sama ibu! Ibu tahu kamu ada masalah”.
”Ndak kok bu ! Cuman lelah saja”.
”Lelah apa?”.
”Ya....lelah mikir pekerjaan bu..”.
”Ah..mosok”.
”Maklum bu !.. sebagai Direktur semua masalah bertumpu padaku. Mulai dari membuat perencanaan, pengaturan anggaran, proyek ini-itu, laporan-laporan, belum kalau ada pemeriksaan dari Irjen atau BPK. Belum lagi kalau ada komplain pasien gara-gara dokternya perawatnya mogok. Bahkan sampe WC mampet, genting bocor saja harus aku yang mikir. Aku lelah bu....sangat lelah”.
”Lho.... Kamu kan punya anak buah !? Ada wakil direktur. Ada kepala bagian, kepala seksi, kepala Instalasi, kepala unit dan masih banyak lainnya. Kamu tinggal nyuruh-nyuruh mereka to !”.
”Iya sih bu. Tapi................aku tidak percaya sama mereka. Mereka itu nggak becus kerjanya. Yang dipikir hanya bagaimana dapat untung. Kalau nggak gitu, yang dipikir ya cuma insentif, insentif dan insentif”.
”Ah ...mosok begitu. Lha kamu sendiri bagaimana?”
Harnowo hanya diam. Tapi kerisauan, kegelisan tampak jelas bergelayut dimatanya yang memandang jauh di kegelapan. Seakan ingin bersembunyi di kelamnya malam. Sementara kabut tipis mulai turun. Dinginnya mulai menembus jaket tebal yang kukenakan. Ya..jaket pemberiannya. Saat dia masih jadi dokter Puskesmas. Saat dia belum menikah dengan dokter Dian. Saat dia belum sesukses sekarang. Saat dia masih memperhatikan ibunya. Tidak seperti sekarang!
”Lelah bu, aku sangat lelah !! sangat !!. Rasanya ingin berhenti saja. Istirahat dirumah. Tapi gimana ...dirumah juga nggak ada siapa-siapa. Istri pergi terus, anak-anak juga nggak tahu kemana”.kata Harnowo datar sambil sesekali menarik napas dalam-dalam.
”Lho..lha istrimu kemana? Juga anak-anakmu, Eko, Dwi, dan Tri? Harusnya mereka dirumah to?”
”Entahlah Bu..”
”Kamu ini bagaimana to le?! Kamu ini kan kepala keluarga, mosok nggak tahu mereka kemana”.
”aku sibuk bu..”.
”sibuk ! terus keluarga nggak diurus gitu? Dosa itu namanya !!”
”Aku sibuk bu. Sebagai direktur pekerjaanku terlalu banyak. Apalagi stafku ndak bisa dipercaya”.
” Ah ..mosok !! jangan-jangan kamu saja yang tidak bisa mimpin. Jadi direktur kok sembarang dipikir sendiri. Harusnya bagi-bagi tugas to!!”
Harnowo hanya diam. Sambil menarik napas panjang, kembali dia memijit-mijit kening dan batang lehernya.
”Ya sudah,gimana kalau hal ini ibu sampaikan pada Pak De’mu yang jadi Dirjen?”.
”Maksud ibu?”
” Ya,..biar kamu tidak usah jadi Direktur saja !!”.
Harnowo tersentak ! kaget !
”Ibu gimana sih. Ya jangan !!!”.
”Kok jangan ?”
”Ya jangan. Tidak bisa begitu bu!”.
” Kok tidak bisa bagaimana?. Kan tinggal kamu diganti, atau mengundurkan diri beres to?. Dengan begitu kamu bisa lebih santai, longgar, bisa menikmati hidup, bisa sering kumpul membina keluarga, bisa sering-sering nengok ibu. Coba mana?! Berapa tahun sekali kamu nengok ibu ?. Apalagi istrimu itu. Juga anak-anakmu. Jangan-jangan... mereka tidak tahu, kalau punya nenek disini”.
”Ya ndak gitu bu”, gerutunya sambil mengambil sebatang rokok, menyulut dan menghisapnya dalam-dalam.
”Dokter kok ngrokok !!! katanya ndak baik buat kesehatan?”.
”Ah ibu... bawel amat sih!” jawabnya kesal sambil mematikan lagi rokoknya. Sementara malam terus bergulir. Membagi-bagi mimpi bagi mereka yang sudah terlelap.
”Sekarang bagaimana?”, tanyaku lagi
”Bagaimana, apanya bu?”.
” Yang tadi ! bagaimana kalau ibu bilang sama pak de’mu? Biar kamu tidak usah jadi Direktur saja”.
”Tidak bisa begitu bu !”.
”Tidak bisa bagaimana?”, kataku mulai jengkel.
Harnowo tetap diam dan membisu. Kembali dia memijit-mijit jidatnya.
”Tidak bisa bagaimana? Ditanya orang tua ndak njawab !!!”, bentakku sambil menahan emosi. Harnowo memandangku sebentar, kemudian menghela napas panjang.
” Bu...jadi direktur, memang semua pekerjaan, permasalahan mengalir ke mejaku. Mulai proyek gedung ini-itu, renovasi bangsal sampai saluran limbah. Dari operasi jantung sampai operasi kutil. Dari pengadaan CT scan sampai pengadaan obat. Belum penerimaan pegawai, aku yang harus nangani bu. Memang lelah, melelahkan ! Tapi sebenarnya dari situlah rejeki saya bu! Dari rekanan proyek, CV ini-itu, alat kesehatan, leveransir makanan, obat, reagen, dari pegawai baru. Makanya aku bisa bayar cicilan beberapa apartemen, mobil mewah, beli barang-barang antik. !”, jawabnya.
”Lho...itu kan ilegal, gratifikasi, kolusi, korupsi ! kalau ada pemeriksaan bagaimana?”.
”Ah itu kecil bu ! paling-paling yang mriksa Irjen. BPKP, BPK. Atau KPK sekalian. Toh mereka manusia juga. Kasih amplop beres bu !”.
“ O…..begitu ya”, jawabku datar. Entah mengapa ada kegetiran merayap ke sekujur tubuh. Awanpun mengambang dipelupuk mataku. Inikah anakku? Yang seorang Direktur kebanggaanku itu?
Kukuatkan hati. Kulempar kegetiran digelapnya malam dibalik senyum hambar yang kupaksakan.
“ Terus, yang membuat kamu resah apa?” tanyaku lagi
“E..e.. anu bu..” katanya dengan bimbang.
“anu apa?”
“E…e…anu bu ! aku dipromosikan jadi direktur rumah sakit Kelas A di Sumatera”.
“ ya bagus kan?”.
“ Tapi aku bingung bu. Kalau aku terima, nanti bagaimana dengan keluargaku. Dian istriku pasti ndak mau ninggalkan prakteknya. Belum anak-anak, kuliahnya bagaimana? Kalau istri dan anak-anak saya tinggal bagaimana jadinya? Sekarang saja rasanya sudah hampa. Istri ndak pernah ketemu, sibuk dengan kerjanya sendiri. Anak-anak juga gitu.”.
“Kalu gitu Ya ndak usah ngongso ! Nggak jadi direktur juga tidak apa-apa kan? katanya sudah lelah! Lebih baik kamu cari tempat yang nyantai saja. Biar nggak lelah, longgar, bisa kumpul membina keluarga, ngurus anak-anak. Biar keluarga tidak seperti kapal pecah begitu. Terus nanti juga dapat sering-sering nengok ibu”..
“La itu masalahnya bu. Kalau aku nggak jadi direktur, mukaku ditaruh dimana ? Masak mantan direktur terus jadi staf biasa? Malu kan bu! Belum masalah pendapatan. Kalau nggak jadi direktur untuk bayar mobil, apartemen, uang belanja istri, , kuliah anak-anak, untuk ini- itu dan sebagainya dari mana coba?””.
“Harnowo…! Kamu ini bagaimana sih? Uang itu bukan segala-galanya. Pikir istrimu. pikir anak-anakmu. Pokoknya Ibu tidak mau lagi dengar kabar kalau istri dan anak-anakmu jadi orang yang nggak bener ! ini semua gara-gara kamu yang nggak becus ngurus keluarga. Sudah tolak saja tawaran itu!”
”Tapi di rumah sakit besar proyeknya jauh lebih besar bu, pendapatannya juga lebih besar. Pasti uangnya, insentifnya juga jauh lebih besar. Sayang kalau nggak diterima. Apalagi kesempatan ini nggak mungkin akan datang dua kali bu”
“Astaghfirullah al’adzim harnowo… harnowo! Kenapa sih yang kamu pikir uang, uang dan uang melulu!”
“ Sekarang uang itu sangat penting bu. Dengan punya uang kita bisa melakukan apa saja!”.
Astaghfirullah!!!. Aku hanya bisa diam. Tak tahu harus bicara apa. Sementara malam yang kian renta, menyembunyikan rembulan pucat dibalik awan. Membuat malam semakin muram. Semuram hatiku, yang tak tahu jalan pikiran Harnowo, anak kebanggaanku.
”Oahhh................... dah ngantuk bu saya tidur dulu”, kata Hernowo sambil berdiri meninggalkan diriku. Kulihat jelas kerisauan masih bergelayut dihatinya. Kerisauan yang juga membuatku sedih. Resah gelisahpun menghujam, membangkitkan kecemasan yang menjulang. Sampai pagi menjelang aku masih terduduk terbalut resah. Apa....yang akan terjadi?
Pagi buta harnowo pamit kembali ke kota. Kulepas dia dengan setumpuk doa, smoga tak terjadi apa-apa. Tapi hatiku berkata lain. Aku sedih. Semakin sedih dan sendiri. Tak terasa bendungan air dimataku tumpah ruah membasahi pipiku. Kepedihan menikam jauh kedasar jantung hati. Seperti itukah anakku? Mengapa uang telah menjadi berhala yang dipertuhankan? Mengapa harta membutakan mata hatinya? Kemana hilangnya jiwa kesederhanaan? kejujuran? Ampuni hambamu ini ya Allah. Yang tidak mampu menjaga amanah Mu !
********************
Senja merah semburat dibatas cakrawala. Burung-burung pipit terbang meliuk rendah kembali ke sarangnya. Pulang kembali pada induknya. Dengan saudara-saudaranya. Betapa bahagianya mereka ! Sementara aku disini mati dalam sepi. Hanya Iyem pembantuku yang setia menemaniku. Membuatkanku teh dan pisang goreng sebagai teman menikmati senja merah, sambil berharap ada anakku yang pulang sore ini. Termasuk Harnowo.
” Nyonya, monggo koran sorenya Nyonya”, kata Iyem membuyarkan lamunanku.
”Ya, terima kasih yem”.
Ketika kubuka betapa terkejutnya aku, kulihat headline ”Seorang Direktur RS A kota B dengan inisial dr H ditangkap KPK dengan tuduhan korupsi.......”
”Oh.. Harnowo anakku!”.
Seketika semua menjadi gelap. Aku terpelanting ke kiri. Dan tak sadarkan diri..............
Dheminto
Konsultasi gizi gratis. http://gizinews.blogspot.com
http://untaianhikmah.blogspot.com
2 komentar:
mas, jadi penulis z. Kata2nya bagus banget. tersusun rapi dan wah... sampai terkagum2 saja.
makasih pujiannya. ini baru latihan nulis kok mas
Posting Komentar